Lelaki tua bermuka Tionghoa itu biasa terlihat berjalan sambil menarik gerobaknya dengan satu tangan. Ia berjalan lambat karena sebelah kakinya pincang. Penyakit yang sudah ia derita sejak lahir.
Fran Brotoseno bekerja sebagai penjual susu segar keliling. Ia menjajakan susu hampir ke seluruh sudut kota Salatiga dengan berjalan kaki sambil menarik gerobaknya yang kecil. Bagi beberapa orang di Salatiga, sosoknya mungkin tidak asing. Fran lahir di Semarang pada 28 Desember 1945, tetapi akte kelahiran menyebut Salatiga sebagai tempat kelahirannya. Orangtuanya sengaja menulis demikian karena Fran dan seluruh keluarganya pindah ke Salatiga sejak Fran masih kecil. Fran enggan menyebutkan nama bapak dan ibunya. Nama Brotoseno diambil dari nama tempat kerja bapaknya dulu: Pabrik Tekstil Brotoseno di Semarang.
Awalnya Fran dan keluarga tinggal di Jalan Jenderal Sudirman, tepatnya di depan bekas Hotel Plaza Salatiga yang sekarang menjadi sebuah toko pakaian. Dulu tempat itu mereka gunakan untuk berjualan wedang ronde. Bapak dan ibunya berjualan di sana dari tahun 1963 sampai 1990. Kemudian, dengan alasan bahwa rumah tersebut adalah rumah warisan, rumah itu dijual dan mereka sekeluarga pindah ke Jalan Nanggul Ayu Nomor 1 Gang 1, Gendongan—rumah yang sampai sekarang dihidupi Fran seorang diri. Bapak-ibunya sudah lama meninggal karena sakit. Ditanya soal keberadaan istri dan anak, Fran menjawab, “Belum.”
Belum punya.
Fran adalah bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya laki-laki, enam tahun lebih tua darinya, bekerja sebagai dosen Fakultas Biologi UKSW. Jika berkeliling untuk menjaja, Fran sering mampir ke rumah kakaknya di Perumahan Lembah Hijau. Sedangkan kakak keduanya perempuan, tiga tahun lebih tua darinya, berdomisili di Surabaya. Kakak perempuannya seorang pensiunan guru sekolah Petra. Fran enggan menyebutkan nama kedua kakaknya.
“Saya gak enak sama keluarga nanti,” ucapnya.
Pekerjaan Fran tampak beda jauh dari kedua kakaknya. Mungkin latarbelakang pendidikanlah sebab perbedaan profesi mereka. Fran tidak mengecap bangku kuliah seperti kedua kakaknya. Ia mengawali pendidikannya di SD Katolik Kanisius, lantas SMP Pangudi Luhur, dan selanjutnya SMA Dharma Putra. Semua sekolah swasta tersebut ada di Salatiga.
Kerja pertama yang ia lakukan setelah tamat bersekolah adalah sebagai staf gudang di agen bus PO Santoso. Pekerjaan itu dijalaninya selama tiga tahun sejak 1980. Setelah keluar dari pekerjaan itu, ia mengandalkan keahliannya menerima reparasi barang-barang elektronik di rumahnya. Keahlian ini Fran dapat dari kursus elektonik yang pernah diikutinya sesaat. Ia memperbaiki kulkas, kompor gas, dan barang-barang elektronik lain. Penghasilan dari situ dirasanya cukup untuk menghidupi diri sendiri. Namun dari hari ke hari penghasilannya menurun. Orang kian jarang datang meminta perbaikan.
Tahun 1997 mulailah Fran berjualan susu segar. Semula 40 liter susu ia jual dengan digendong berkeliling Salatiga. Waktu itu harga susu dagangannya masih Rp 1.800. Dulu hampir semua susu yang dia bawa terjual setiap hari. Namun dari waktu ke waktu pembeli susu kian jarang. Penjualan Fran menurun. Kini ia hanya membawa sekitar 8 sampai 10 liter—atau paling banyak sekitar 20 liter—per hari.
Sekarang harga tiap liter dagangannya Rp 4.000. Dijajakannya ke rumah-rumah, warung tenda pinggir jalan, penjual gorengan, atau penjual warung lainnya. Setiap hari Fran mendapat uang bersih Rp 7.500.
Suatu hari, ia mulai menggunakan gerobak kecil untuk mengangkut jualannya. Gerobak itu didapatnya sekitar empat tahun lalu dari seorang teman. Warna gerobak itu biru dan dililiti spanduk kecil bertuliskan: “Susu Segar Sapi. Dapat diminum langsung. Atau dapat dimasak dulu. Pesanan dapat diantar ke tujuan.” Gerobak itu memiliki tiga roda kecil, satu roda depan dan dua di sisi kanan-kiri dan belakang gerobak.
Sekarang roda depan gerobak itu rusak. Fran mengatakan inilah akibat kecelakaan beberapa waktu lalu.
“Saya habis kecelakaan. Itu ditabrak motor. Tanggal 21 September kemarin. Saya jatuh terlempar, terus ini (menunjuk perut bagian kiri) luka dalem gak tahu kena apanya. Gerobak saya kena juga, rodanya kemarin itu jadi angka delapan,” Fran berkisah dengan tersenyum.
Rodanya sempat ia perbaiki, namun setelah beberapa kali peleknya rusak lagi. Memang besi roda itu telah bengkok. Karena itu, selama sekitar sepuluh hari Fran terpaksa mengganti gerobaknya dengan sebuah tas kain besar. Tas kain yang bagian dalamnya ia lapisi plastik ini sanggup menampung sekitar 20 liter susu serta beberapa gelondong besar es batu. Tas itu ia sampirkan ke sebelah bahunya.
Selama bekerja sebagai penjual susu keliling, Fran telah empat kali kecelakaan. Dari keempat pengalaman tersebut, kecelakaan terakhir inilah yang menurutnya paling parah.
Malam saat kejadian itu berlangsung, jalan memang masih licin karena hujan. Awalnya Fran beristirahat di warung nasi goreng temannya di Jalan Dliko Indah. Saat hujan sudah agak reda, Fran melanjutkan perjalanan. Ia berjalan naik ke arah Jalan Diponegoro dengan menuntun gerobaknya perlahan. Tiba-tiba seorang laki-laki dengan motornya hilang keseimbangan dan menabraknya.
Sampai sekarang orang yang menabraknya tidak memberi ganti rugi. Sebab saat kejadian, orang itu mengaku sedang tidak membawa uang. Luka di perutnya yang cukup dalam itu dibiarkan begitu saja sampai kering dengan sendirinya. Yang ia lakukan hanya pijat untuk menghilangkan pegal-pegal akibat jatuh. Sebenarnya Fran tahu dimana tempat orang tersebut tinggal, tapi ia tak mau menagih ganti rugi ke rumahnya.
Kini Fran berjalan lagi dengan gerobaknya, tapi tanpa roda depan. Ia harus mengangkat gerobaknya agar bisa berjalan dengan tumpuan roda belakang.
Setiap hari Fran bangun pagi sekitar jam lima. Kadang ia sempatkan ke gereja terlebih dahulu baru mulai mengambil susu di peternak daerah Ledok. Setelah itu dia kembali ke rumah untuk bersiap.
Sekitar 12 kilometer ia tempuh setiap hari untuk menjajakan susu segar. Dari Gendongan ia berjalan menuju Wahid, Nanggulan, Kalipengging, Jenderal Sudirman, Jalan Dieng, Jalan Semeru, Jalan Merapi, Jalan Merbabu, Sukowati, Tanjung, Jalan Kemuning, Pemotongan, Pungkursari, Margosari, Diponegoro, kemudian masuk ke daerah Kemiri. Setelah berputar-putar di sana, ia kembali menelusuri Jalan Diponegoro, lalu masuk ke Merdeka Utara, Merdeka Selatan, Perumahan Lembah Hijau, Sehati, Kotabaru, dan kembali lagi ke Jalan Diponegoro. Itulah rute yang biasa dia lewati setiap hari. Dari pagi hingga malam hari. Fran biasa tiba di rumah larut malam, sekitar pukul sebelas atau duabelas.
Di sepanjang jalan, banyak orang dia temui dan akhirnya mengisi kehidupannya. Beberapa tempat ia singgahi untuk beristirahat dan mengobrol dengan mereka yang dikenal. Salah satunya warung Natasha di Kemiri 1. Warung ini pasti ia singgahi sekali sehari untuk makan. Fran hanya makan sekali sehari.
“Bapak tidak capek keliling Salatiga jalan kaki seperti ini? Dari pagi sampai malem, capek Pak?”
Si penjual susu segar ini hanya tersenyum.
“Kenapa milih jualan susu, Pak?”
Dan didapati jawaban yang sama, senyum.
Prinsip hidup Fran adalah, “Pokoknya kerja, jangan minta dari orang lain.” Itu menjadi semangat Fran terus bekerja untuk melanjutkan hidup, tanpa bergantung pada siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar